KRITIK ATAS INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN

Posted on Sabtu, 29 Juni 2013

(Study kasus Jurusan KPI UIN Bandung)
oleh Rizal khaerul insan*

Jika kita mengikuti teori Francis Fukuyama, seseorang yang dikenal memprolamirkan kemerdekaan kapitalisme atas didologi apapun, mengemukakan dika kapitalisme telah menghegemoni dunia pendidikan yang dapat dilihat dari proses industrialisasi pendidikan kita. Proses industrialisasi pendidikan dapat dilihat/dipahami dalam dua pengertian, yaitu, Pertama, Pendidikan yang dijadikan layaknya industri yang menghasilkan uang dan keuntungan yang berlipat-lipat. Kedua, sistem pendidikan yang diformat sedemikan rupa (oleh skenario kapitalisme) untuk menyiapkan peserta didik agar mampu beradaptasi dengan dunia industri-kapitalis.

Peter McLaren mengatakan, dalam dunia kapitalisme, sekolah adalah bagian dari industri, sebab sekolah adalah penyedia tenaga kerja/buruh bagi industri. Ada tiga pengaruh kapitalisme terhadap sekolah, yaitu (1). Hubungan antara kapitalisme dan pendidikan telah mengakibatkan praktek-praktek sekolah yang cenderung mengarah kepada kontrol ekonomi oleh kaum elit. (2). Hubungan anatar kapitalisme dan ilmu telah menjadikan tujuan ilmu pengetahuan sebatas mengejar keuntungan. (3). Perkawinan antara kapitalisme dengan pendidikan serta kapitalisme dan ilmu telah menciptakan pondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai material dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan martabat manusia. Pada akhirnya peserta didik dalam dunia pendidikan kita kehilangan senstifitas kemanusiaan digantikan dengan kalkulasi kehidupan materialisme.

Sekolah-sekolah terkooptasi oleh mekanisme industri dan bisnis, dimana sekolah menjadi instrumen produksi ekonomi. Mau tidak mau, kurikulum pendidikan juga ikut terpengaruh, misalnya dalam hal menentukan ilmu pengetahuan mana saja yang perlu dipelajari oleh peserta didik, yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia industri. Maka terciptalan kurikulum yang sepenuhnya berwatak kapitalistik Pada filosofi seperti inilah lahir PENDIDIKAN BERBASIS DUNIA KERJA. Pertanyaannya adalah apakah kita harus menolak Pendidikan berbasis dunia kerja? Sementara realitas telah menuntut kita untuk seperti itu, ketika kita menolak bukankah realitas akan meninggalkan kita. Pertanyaan ini dijawab oleh tiga paradigma pendidikan dengan jawaban yang berbeda. Mari mari kita sedikit membedah paradigma pendidikan itu sendiri.

TIGA PARADIGMA PENDIDIKAN
Paradigma menjadi hal urgen guna mengembalikan hakikat dari pendidikan itu sendiri. Dimana faktor-faktor eksternal yang mustinya menjadi pendorong bagi kualitas pendidikan, nyatanya terelaborasi dan menjebak sistem pendidikan itu sendiri. Terbukti, adanya industrialisasi dalam pendidikan sebagai manifest dari kacaunya hakikat awal pendidikan tersebut.

Pada dasarnya, paradigma pendidikan itu setidaknya terbagi kepada 3 hal. Pertama, Paradigma Konservatif, akan menerima keadaan apa adanya dan menyesuaikan diri dengan tuntutan realitas tanpa mempertanyakan apapun dan mayoritas masyarakat. Kedua, Paradigma Liberal/Demorkat, akan mengubah beberapa tuntutan realitas dan sedikit menyesuaikan diri. Ketiga, Paradigma Kritis, dengan cara mengubah realitas yang dianggap menindas dan merugikan dan tidak sesuai dengan filosofi pendidikan. Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan yang mendasar (revolusioner) dimasyarakat, dengan melakukan penentangan terhadap ketidakadilan, ketimpangan dan sistem yang menindas, melalui proses penyadaran kritis yang mencerahkan dan membebaskan.

Study Kasus Jurusan KPI

Setali-tiga uang dengan lembaga pendidikan dimana penulis menempuh pendidikan di perguruan tinggi, yakni UIN Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dimana menurut analisa penulis, pendidikan dari kurikulum kampus hijau disebelah timur Bandung tersebut hanya berorientasi sebatas industrialisasi semata tanpa melihat aspek kualitas lulusan yang siap bersaing terjun dimasyarakat. Lulusan yang digadang-gadang menjadi professional da’i yang handal dalam bidang penyiaran sepertinya telah jauh dari ekspektasi yang telah digaungkan dalam berbagai momen promosi, karena proses pendidikan yang diselenggarakan ternyata tidak selaras dengan apa yang menjadi pondasi pembentukan jurusan itu sendiri.
Seperti proses pembelajaran yang diterapkan telah melampaui batas kewajaran dari standar yang di tentukan, dimana adanya ruang teoritis mengenai penyiaran tidak dibarengi oleh praktek pendukung yang disertai dengan adanya fasilitas pendukung laboratorium terpadu seperti apa yang telah dijanjikan sebelumnya lewat brosur atau kesempatan promosi lainnya. Karena sejatinya pembentukan keprofesioanalan yang dijanjikan tersebut akan sesuai jika keduanya bertemu dalam suguhan pola pengajaran yang seimbang antara teori dan praktik. Da’i yang awalnya dibungkus menjadi sebuah profesi, tidak lagi terkesan kuno (dai mimbar) tetapi dibungkus menjadi profesional-profesional dai kontemporer yang modernis yang mampu bersaing karena dapat menyampaikan pesan dakwah lewat media sebagai bentuk penyesuaian zaman seperti dikutip dalam brosur jurusan KPI yang jauh dengan keadaan sbenarnya.

Sistem Pendidikan hari ini yang cenderung bersifat pragmatis dimana para mahasiswa dicetak menjadi produk industrialisasi pasar mungkin sedang dikejar oleh jurusan KPI. Maka terorinya, manusia mengikuti alur dunia, sebatas itu. Dan secara outo ---disadari atau tidak—kita telah menempatkan diri kita sebagai alur, intinya tak mempunyai daya saing.

Sayangnya, obsesi yang ada tidak berbaris lurus dengan fasilitas yang ada. Selain itu, Visi dan Misi jurusan KPI salah satunya menjadikan setiap lulusanya menjadi seorang tekhnisi handal dalam dunia media maupun industri film dan televisi terlihat lucu. Mahasiswa KPI mengenal produksi TV dan Film sekitar semester 5-6 dengan jangka 1 semester, dan lebih disibukan dengan mata kuliah MKDU dan mata kuliah yang sebenarnya kurang penting untuk menciptakan KPI seperti halnya visi dan misi jurusan. Dan itu menggambarkan kurikulum yang ada di jurusan ini yang memaksakan para mahasiswanya untuk menjadi makhluk intelektual yang tak jelas jenis kelaminnya.

Contoh sederhana, ketika para calon mahasiswa melihat jurusan ini dari brosur-brosur yang ada disuguhkan dengan sutau komunikasi visual yang sangat aneh menurut saya. Gambar salah satu artis dan juga mahasiswa KPI yang sedang memegang kamera dan sedang bersiaran di Radio pada dasarnya seperti suatu brosur penjualan yang bersifat marketing. Yang terlihat bagus di brosur, padahal apa yang di jualnya jauh berbeda dengan apa yang ditawarkan sebelumnya.

Oleh karena itu, salah satu pengobat bagi kita ---selaku mahasiswa KPI--- adalah memilih kompetensi yang ada di jurusan sehingga manjadi spesialisasi bagi kita. Tak apa kita tak menguasai ekonomi, tak apa, kita tak menguasai filsafat, tak berarti apa-apa juga ketika kita tak menguasai ilmu pendidikan, tapi akan menjadi bencana bagi kita bila kita tak mempertegas potensi dan juga pengetahuan kita tentang kompetensi yang ada di KPI (Khitobah, Kitabah, dan I’lam).

Maka sudah menjadi seharusnya, lulusan seorang KPI bukan lah bercita-cita menjadi seorang pekerja media akan tetapi seorang lulusan KPI adalah orang yang mempunyai media itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep, orang yang mempunyai strategi managemen media yang baik dan orang yang berpikiran luas yang menjadikan media sebagai fungsi kontrol masyarakat. Dan semua itu akan kita dapatkan ketika kompetensi yang ada di jurusan KPI dimaksimalkan dengan baik.

Wacana berkembang dan berefek tidak baik ketika dilihat dari indikasi banyaknya Mahasiswa-mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang hendak pindah dari jurusannya. Selain itu, minat akan jurusan ini pun semakin hari semakin berkurang. Dan tidak ada satu pun tidakan aktif dari pihak jurusan mengenai ini. Analisa penulis mungkin sebatas ungkapan, “silahkan masuk ke jurusan KPI, silahkan juga jika anda ingin keluar”, lagi-lagi tak seperti apa yang ditawarkan sebelumnya.

Belum lagi permasalahan internal mahasiswa-mahasiswa yang ada di jurusan ini yang diwakili para mahasiswa yang tergabung dalam suatu kepengurusan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (BEM-J KPI) terlihat masih kebingungan dengan multikompetensi yang ada. Suguhan 3 kompetensi (Khitobah, Khitabah, dan i’lam) tidak dibarengi dengan fasilitas yang mumpuni. Disesuaikan dengan uang yang mahasiswa keluarkan tiap semesterkah kualitas dari fasilitas Jurusan KPI UIN SGD Bandung?

Akan tetapi yang menjadikan penulis bertanya-tanya, mahasiswa-mahasiswi Jurusan KPI yang ada di PTAI seperti di IAIN “SMH” Banten, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIDA Banyuwangi, STAIN Kediri, STAIN Samarinda, UIN Alauddin Makasar, hingga Jurusan KPI yang ada di IAIN Ambon ternyata uang yang dikeluarkan persemester semua berkisar dibawah tarif persemester kita (UIN Bandung) akan tetapi sudah menjadi rahasia umum fasilitas yang disuguhkan tidak sesuai dengan peringkat kita sebagai salah satu Jurusan KPI termahal di Indonesia bahkan KPI tertua di Indonesia. Karena kertait bantuan yang ada oleh pemerintah atau apakah? mari kita pertanyakan.

Wacana terkait pro-kontra multikompetensi jurusan KPI ternyata tidak hanya terjadi di jurusan KPI UIN Bandung saja, akan tetapi sudah menjadi wacana nasional. Hal ini Penulis ketahui ketika mengikuti berbagai acara di event yang di selenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Nasional Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FORKOMNAS KPI.

Wacana pro-kontra multikompentensi dan permasalahan yang lainnya seperti penyeragaman kurikulum pokok jurusan hingga pendataan alumnus sebagai akses kedepan mahasiswa KPI dalam berkarir baik di bidang media informasi adalah santapan yang terus menerus menjadi problema di setiap kesempatan pertemuan mahasiswa KPI se-Indonesia sampai yang pada akhirnya muncul anekhdot bahwa mahasiswa yang masuk jurusan KPI rata-rata adalah korban brosur.

Terlebih wacana-wacana ini diperkuat oleh lebih bnyaknya problematika yang semakin hari semakin bergulir deras dalam setiap perjumpaan penulis di pertemuan Forkomnas KPI, indikasi kesalahwenangan menangani sistem pendidikan yang bersifat otonom di jurusan KPI ternyata sudah menjadi radang ditengah-tengah sistem pembaharuan pendidikan islam di Indonesia. Sebagai contoh, di mulai dari adanya beberapa jurusan KPI di Indonesia yang berubah haluan nama seperti contohnya di IAIN Antasari Banjarmasin yang nama KPI-nya telah berubah menjadi KPI-TI (Komunikasi Penyiaran Islam Tekhnik Informatika), atau di UMY Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berubah namanya menjadi KKI (Komunikasi Konseling Islam) ---disahkan per tahun 2012 yg lalu---, perubahan nama tersebut adalah jawaban dari semakin derasnya tantangan pasar yang semakin hari jurusan KPI tidak mempunyai market atau semakin kurang diminati ditengah-tengah himpitan jurusan-jurusan lain yang lebih menjajikan segalanya.

Ironis memang, ketika semua problematika terkait KPI pun belum terselesaikan, banyak permasalahan permasalahan baru yang muncul di dunia institusi pendidikan perguruan tinggi islam ini. dan titik temu dari problematika di atas adalah paradigma Sekolah/Universitas telah berubah haluan dari tempat mencari Ilmu menjadi tempat mencari pekerjaan. Sementara pada akhirnya Universitas pun tidak bisa menjanjikan apa-apa terkait nasib lulusannya sendiri, karena sistem penunjang keilmuannyapun sudah terlewat batas keluar dari apa yang dicita-citakan.

Mungkin sepenggal tulisan ini merupakan suatu tamparan keras bagi pihak pihak yang merasa sudah tidak dihargai secara emosional, tapi perlu di ingatkan kembali bahwasannya, mengsikapi kritik harusnya tak dilawan dengan perasaan, artinya, kritik tak seharusnya dibenturkan dengan moralitas. Betapapun kadang caranya kurang relevan. Rasulullah bahkan mengajarkan untuk mengesampingkan siapa yang berbicara, dan lebih memperhatikan apa yang dibicarakan. Karena kritik adalah luaran dari pemikiran yang disampaikan secara bertanggungjawab, maka pun harus disikapi secara rasional, serta bijak dan bertanggungjawab. Penggunaan perasaan dalam mensikap kritik pada dasarnya menggambarkan kelemahan pikiran. Demikian juga dengan penggunaan kekuatan dan kekuasaan yang pada dasarnya menggambarkan kebuntuan berpikir.

Berpikir jernih dan positif terhadap kritik karenanya merupakan sikap yang paling tepat, karena sungguh sangatlah beruntung orang yang hidup ditengah seribu pengkritik daripada hidup bersama satu orang penjilat.

*penulis adalah mahasiswa KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang juga menjabat sebagai ketua umum Forum Komunikasi Mahasiswa Nasional Komunikasi Penyiaran Islam (FORKOMNAS KPI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar